Minggu, 17 Januari 2016

Nightfall Kiss - Chapter 5


"Ed, hari ini kamu ikut aku belanja bahan untuk toko ya? Persediaan sudah mulai menipis", kata Paman Joe pada Edward.

"Iya. Beritahu aku kalau Paman mau berangkat".

"Oke. Bersiap-siaplah".


******

Hari cukup cerah untuk belanja bahan. Menggunakan truck tua terbuka, Edward dan pamannya berangkat untuk berbelanja.

"Toko bahannya di mana, Paman?" tanya Edward memecah sepi.

"Tidak seberapa jauh, sekitar dua puluh menit mengemudi dari toko kue kita".

"Toko kue Paman Joe", ralat Edward.

"Apa bedanya? Kamu sekarang juga bekerja di sana kan? 'Toko kue kita' kalau begitu", jawab Paman Joe dengan tawa jail pada Edward.

"Haha. Dasar. Paman selalu saja bercanda. Kalau tidak jauh, kenapa Paman tidak minta dikirim saja ke toko?"

"Hemm, coba tebak?"

"Karena kau juga ingin jalan-jalan?"

"Nope. Memilih bahan untuk komposisi kue adalah hal penting. Harus yang paling baik kualitasnya. Aku tidak mau menyerahkan begitu saja pada orang lain".

"Bukankah setiap bahan mentah memiliki grade? Tinggal kau minta saja grade yang paling baik. Bisa, kan?"

"Tidak semudah itu. Kau tau? Di antara begitu banyak berlian dan batu permata yang mahal harganya, ada saja batu permata yang cacat, bukan?"

"Ya, tapi cacat itu akan mengurangi harganya?"

"Tentu. Tapi kita berhubungan dengan makanan. Harus benar-benar yang terbaik. Tidak ada cacat ataupun kurang. Makanan berhubungan langsung dengan hidup. Makan untuk hidup, kan? Bukan hidup untuk makan".
"Aku mengerti. Tapi, kau tidak mungkin terus menerus memilih bahan dengan tanganmu sendiri, kan? Seiring berjalannya waktu, tokomu akan menjadi besar, kau akan sangat kepayahan bila harus memilih dan belanja bahan terus".

"Maka dari itu, aku mengajakmu, Ed. Kamu nanti yang akan melakukannya jika aku kepayahan. Haha..."

"Woow, wooow. Tunggu. Tunggu. Maksud Paman? Kau bercanda! Kau pasti tidak serius..."

"No, Edward. Aku tidak pernah tidak serius dengan toko kue".

"Tapi kenapa aku?"

"Sudah jelas kan? Karena aku percaya padamu dan kau pun juga mencintai bidang yang sama. Siapa lagi kandidat yang lebih baik? Nah, itu toko bahannya. Kita parkir di sini dan berjalan ke sana. Come on!"


*****


Memasuki toko bahan kue, kenangan seperti film bermain di kepalanya. Gadis itu, Rose, kasih pujaannya yang juga peremuk hatinya, sangat suka memasak dan membuat kue. Edward selalu dimintanya untuk menemaninya belanja, mengikutinya dari belakang, dengan dua keranjang belanja berbeda. Satu untuknya, dan satu untuk Rose, kemudian mereka akan membuat makanan masing-masing dan bertukar untuk saling memberi komentar.

"Ed? Edward!", suara Paman Joe membuyarkan lamunannya.

"Oh, eh, iya. Ada apa? Mana lagi yang harus kuambil?"

"Kau ini! Aku sudah memanggilmu berulang kali. Dan kita belum mengambil apa-apa, Ed. Kau itu melamunkan apa?"

"Ah, tidak. Ayo, Paman. Tunjukkan padaku, kiat jitumu memilih bahan".

Mendorong kereta belanja yang besar, Edward mengikuti pamannya. Dengan tekun Edward mendengarkan dan berusaha mengingat apa yang diajarkan pamannya. Dalam hati dia berjanji akan membawa catatan untuk mencatat lain kali.

"Memilih bahan itu seperti memilih wanita, Ed. Kau harus memilihnya sendiri, dengan matamu, tanganmu, dan hatimu. Pilih yang terbaik bukan yang termahal. Pilih yang paling pas bukan yang bermerek. Pilih yang meyakinkan bukan yang sekedar ikut-ikutan".

"Oke, Paman. Tapi kalau dengan tanganku, aku harus berhati-hati. Salah-salah aku malah ditampar".

"Wanita, kalau sudah percaya padamu, akan dengan sendirinya untuk rela disentuh. Bukan begitu?"

"Ya...", pikiran Edward langsung berpergi jauh pada bayangan Rose. Dia merindukannya. Gadis mungilnya, yang menguasai hati dan pikirannya. Dia merindukannya, sangat merindukannya. Ya, rindu disentuhnya dengan jari yang lembut.

"Hei, Ed! Kau melamun lagi!", tegur Paman Joe.

"Oh, ya, eh, maaf. Hehe".

"Kenapa? Ada apa denganmu? Apa yang kau pikirkan?"

"Nope. Tidak apa-apa. Lupakan. Ayo kita pulang, Paman. Semua yang ada di daftar belanja sudah terambil, kan?"


*****


Berbaring di tempat tidur, Edward membuka iPhone miliknya. Berita-berita tentang dia yang kabur dari rumah masih dibincangkan di media-media lokal negaranya, tapi tak segencar ketika pertama kali dia pergi. Media terlalu mengada-ada. Ada yang bilang dia kawin lari, seandainya bisa, wanitaku saja tak mau, ada yang bilang karena dia tidak mau diwarisi perusahaan, Bodoh, mana mungkin aku tidak mau?. Tidak ada pesan masuk dari Rose, Edward mengeluh. Sudah lama dia menunggu kabar dari Rose. Apa yang kau pikirkan tentang berita-beritaku di sana, sweetheart?  Edward mulai mengetik pesan untuk Rose, menunggu kabar dari perempuan seperti menunggu bus bisa terbang.

To: Rose
Hi, Rose.
Bagaimana kabarmu?
Ak....

Edward berhenti mengetik dan kemudian menghapusnya. Percuma. Bagaimanapun dia akan berusaha, apapun yang akan dilakukan, tidak akan bisa merubah keadaan. Rose adalah adiknya. Mereka disatukan tali darah persaudaraan oleh ayah mereka, Frans Wijaya. Tidak mungkin bila mereka memaksa bersatu.

Tapi aku ingin tahu kabarnya dan aku merindukannya. Sial. Sial. Sial. Aku harus bagaimana? Edward memukul-mukulkan iPhone ke kepalanya. Blog. Rose punya blog. Dia biasa menulis di sana. Aku bisa melihat kabarnya dari sana.

Namun di blog itu tidak ada sesuatu yang berarti. Rose tidak menuliskan isi hatinya, hanya ulasan-ulasan mengenai tempat makan yang ada di sana. Tanggal ulasan terakhirnya adalah beberapa hari sebelum Edward meninggalkan negaranya.  Itu berarti sudah lebih dari satu bulan.
Aneh, Rose biasanya selalu mengupdate blog-nya seminggu dua kali. Kenapa dia tidak mengisi blognya, sebulan terakhir ini? Apa kabarmu, sweetheart?

Bersambung ke Chapter 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar