"Ed, hari
ini kamu ikut aku belanja bahan untuk toko ya? Persediaan sudah mulai
menipis", kata Paman Joe pada Edward.
"Iya.
Beritahu aku kalau Paman mau berangkat".
"Oke.
Bersiap-siaplah".
******
Hari cukup cerah untuk belanja bahan. Menggunakan truck tua terbuka, Edward
dan pamannya berangkat untuk berbelanja.
"Toko
bahannya di mana, Paman?" tanya Edward memecah sepi.
"Tidak
seberapa jauh, sekitar dua puluh menit mengemudi dari toko kue kita".
"Toko kue
Paman Joe", ralat Edward.
"Apa
bedanya? Kamu sekarang juga bekerja di sana kan? 'Toko kue kita' kalau
begitu", jawab Paman Joe dengan tawa jail pada Edward.
"Haha.
Dasar. Paman selalu saja bercanda. Kalau tidak jauh, kenapa Paman tidak minta
dikirim saja ke toko?"
"Hemm,
coba tebak?"
"Karena
kau juga ingin jalan-jalan?"
"Nope.
Memilih bahan untuk komposisi kue adalah hal penting. Harus yang paling baik
kualitasnya. Aku tidak mau menyerahkan begitu saja pada orang lain".
"Bukankah
setiap bahan mentah memiliki grade? Tinggal kau minta saja grade
yang paling baik. Bisa, kan?"
"Tidak
semudah itu. Kau tau? Di antara begitu banyak berlian dan batu permata yang
mahal harganya, ada saja batu permata yang cacat, bukan?"
"Ya, tapi
cacat itu akan mengurangi harganya?"
"Tentu.
Tapi kita berhubungan dengan makanan. Harus benar-benar yang terbaik. Tidak ada
cacat ataupun kurang. Makanan berhubungan langsung dengan hidup. Makan untuk
hidup, kan? Bukan hidup untuk makan".
"Aku
mengerti. Tapi, kau tidak mungkin terus menerus memilih bahan dengan tanganmu
sendiri, kan? Seiring berjalannya waktu, tokomu akan menjadi besar, kau akan
sangat kepayahan bila harus memilih dan belanja bahan terus".
"Maka
dari itu, aku mengajakmu, Ed. Kamu nanti yang akan melakukannya jika aku
kepayahan. Haha..."
"Woow,
wooow. Tunggu. Tunggu. Maksud Paman? Kau bercanda! Kau pasti tidak
serius..."
"No,
Edward. Aku tidak pernah tidak serius dengan toko kue".
"Tapi
kenapa aku?"
"Sudah
jelas kan? Karena aku percaya padamu dan kau pun juga mencintai bidang yang
sama. Siapa lagi kandidat yang lebih baik? Nah, itu toko bahannya. Kita parkir
di sini dan berjalan ke sana. Come on!"
*****
Memasuki toko bahan kue, kenangan seperti film bermain di kepalanya. Gadis
itu, Rose, kasih pujaannya yang juga peremuk hatinya, sangat suka memasak dan
membuat kue. Edward selalu dimintanya untuk menemaninya belanja, mengikutinya
dari belakang, dengan dua keranjang belanja berbeda. Satu untuknya, dan satu
untuk Rose, kemudian mereka akan membuat makanan masing-masing dan bertukar
untuk saling memberi komentar.
"Ed?
Edward!", suara Paman Joe membuyarkan lamunannya.
"Oh, eh,
iya. Ada apa? Mana lagi yang harus kuambil?"
"Kau ini!
Aku sudah memanggilmu berulang kali. Dan kita belum mengambil apa-apa, Ed. Kau
itu melamunkan apa?"
"Ah,
tidak. Ayo, Paman. Tunjukkan padaku, kiat jitumu memilih bahan".
Mendorong kereta belanja yang besar, Edward mengikuti pamannya. Dengan
tekun Edward mendengarkan dan berusaha mengingat apa yang diajarkan pamannya.
Dalam hati dia berjanji akan membawa catatan untuk mencatat lain kali.
"Memilih
bahan itu seperti memilih wanita, Ed. Kau harus memilihnya sendiri, dengan
matamu, tanganmu, dan hatimu. Pilih yang terbaik bukan yang termahal. Pilih
yang paling pas bukan yang bermerek. Pilih yang meyakinkan bukan yang sekedar
ikut-ikutan".
"Oke,
Paman. Tapi kalau dengan tanganku, aku harus berhati-hati. Salah-salah aku
malah ditampar".
"Wanita,
kalau sudah percaya padamu, akan dengan sendirinya untuk rela disentuh. Bukan
begitu?"
"Ya...",
pikiran Edward langsung berpergi jauh pada bayangan Rose. Dia merindukannya.
Gadis mungilnya, yang menguasai hati dan pikirannya. Dia merindukannya, sangat
merindukannya. Ya, rindu disentuhnya dengan jari yang lembut.
"Hei, Ed!
Kau melamun lagi!", tegur Paman Joe.
"Oh, ya,
eh, maaf. Hehe".
"Kenapa?
Ada apa denganmu? Apa yang kau pikirkan?"
"Nope.
Tidak apa-apa. Lupakan. Ayo kita pulang, Paman. Semua yang ada di daftar
belanja sudah terambil, kan?"
*****
Berbaring di tempat tidur, Edward membuka iPhone miliknya. Berita-berita
tentang dia yang kabur dari rumah masih dibincangkan di media-media lokal
negaranya, tapi tak segencar ketika pertama kali dia pergi. Media terlalu
mengada-ada. Ada yang bilang dia kawin lari, seandainya bisa, wanitaku saja
tak mau, ada yang bilang karena dia tidak mau diwarisi perusahaan, Bodoh,
mana mungkin aku tidak mau?. Tidak ada pesan masuk dari Rose, Edward
mengeluh. Sudah lama dia menunggu kabar dari Rose. Apa yang kau pikirkan tentang berita-beritaku di sana, sweetheart? Edward
mulai mengetik pesan untuk Rose, menunggu kabar dari perempuan seperti menunggu
bus bisa terbang.
To: Rose
Hi, Rose.
Bagaimana kabarmu?
Ak....
Edward berhenti mengetik dan kemudian menghapusnya. Percuma. Bagaimanapun
dia akan berusaha, apapun yang akan dilakukan, tidak akan bisa merubah keadaan.
Rose adalah adiknya. Mereka disatukan tali darah persaudaraan oleh ayah mereka,
Frans Wijaya. Tidak mungkin bila mereka memaksa bersatu.
Tapi aku ingin tahu kabarnya dan aku
merindukannya. Sial. Sial. Sial. Aku harus bagaimana? Edward memukul-mukulkan iPhone ke kepalanya. Blog.
Rose punya blog. Dia biasa menulis di sana. Aku bisa melihat kabarnya dari
sana.
Namun di blog itu tidak ada sesuatu yang berarti. Rose tidak menuliskan isi
hatinya, hanya ulasan-ulasan mengenai tempat makan yang ada di sana. Tanggal
ulasan terakhirnya adalah beberapa hari sebelum Edward meninggalkan
negaranya. Itu berarti sudah lebih dari
satu bulan.
Aneh, Rose biasanya
selalu mengupdate blog-nya seminggu
dua kali. Kenapa dia tidak mengisi blognya, sebulan terakhir ini? Apa kabarmu,
sweetheart?
Bersambung ke Chapter 6
Bersambung ke Chapter 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar