Lampu merah membuat kumpulan kendaraan berhenti. Seorang gadis berambut panjang mempercepat langkahnya di atas garis-garis besar berwarna putih di jalan. Hujan deras beberapa saat lalu membuat jalanan basah, air menggenang di beberapa sisi jalan yang tidak rata, mengotori sepatu bertumit kecil Si Gadis. Cuaca yang dingin menemani langkah kakinya untuk kembali pulang. Pulang ke rumah, tempat segala kenyamanan berada.
Perjalanan jauh tidak membuatnya ingin cepat-cepat sampai di rumah. Dia tetap berjalan pelan, menikmati rintik hujan yang membasahi rambut dan tubuhnya. Rintik yang mebuat bercak - bercak basah di bajunya, tudungnya, dan tasnya. Dia tidak membenci hujan, dia berteman dengan hujan, dengan bau tanah basahnya, dan dengan sejuknya.
Di ujung jalan, beberapa tukang ojek berebut menawarkan jasa. Mengharap rejeki dan bonus membonceng wanita cantik. Gadis itu tetap berjalan, tak menghiraukan ojek-ojek itu. Alih-alih memilih ojek agar cepat sampai, gadis itu memilih becak dengan tukangnya yang sudah tua. Tak apalah, ini memberikannya waktu untuk sedikit mengenang jalanan ke rumahnya. Melamun dan sedikit bernostalgia pada jalan yang sering dulu dia lewati untuk pergi ke sekolah, ke pasar malam bersama Ibu, dan banyak lagi yang telah dia lewati.
Dan terlihatlah rumahnya, rumah di mana segala kenyamanannya berada. Rumah itu besar tapi sederhana, tidak banyak dekorasinya, bercat putih, dengan pagar hanya setinggi dada. Halamannya tidak terlalu luas tapi asri dipenuhi kembang. Sedikit menahan nafas ketika membuka pagar rumahnya. Di sini, di rumah ini, di segala kenyamanannya berada, dia akan memulai lagi segalanya dari awal. Tanpa luka, tanpa sakit hati, tanpa Edward.
***
Rose membuka pagar rumahnya, melangkah pelan sambil mengulang kata-kata yang dia susun untuk bicara pada Ibunya, dalam hati. Bu, aku berhenti bekerja, aku ingin di sini, menemani Ibu, biar Ibu gak kesepian. Aku sudah ada tabungan cukup untuk memulai usahaku sendiri di sini. Aku ingin seperti Ibu dan toko kue Ibu, memberi kesempatan orang lain untuk mencari rejeki bersamaku. Terus dia ulangi alasan-alasan itu untuk dia bicarakan pada Ibunya, agar tak ada rasa khawatir timbul di hati Ibunya.
Di depan pintu putih rumah masa kecilnya, Rose terpaku. Seperti film, potongan gambar masa kecilnya bergiliran berebutan tempat di otaknya, memenuhi sisi visual kenangannya. Saat senang ketika Ibunya membelikan pita rambut baru, saat menangis kala Sang Ibu memarahinya karena bermain hujan, saat dia terjatuh dari kursi kayu di teras rumahnya, tanpa sadar sebutir air mata jatuh mengalir di pipinya. Aku pulang, Bu. Aku pulang, rumahku. Suara langkah kaki dari balik pintu membuatnya harus berhenti dari lamunan kenangan. Cepat-cepat dia menghapus air matanya. Tepat saat itu, pintu terbuka.
"Loh, Non? Lagi liburan? Kok, Ibu tidak bilang-bilang kalau Non Oce pulang ke rumah ya, biar Mbok masak yang Non suka?" Mbok Mei, nama aslinya Maemunah, pembantu setia Ibunya yang sudah bekerja di rumah ini puluhan tahun, bahkan sebelum Rose lahir.
"Oce memang belum kasih kabar ke Ibu, Mbok. Biar Ibu kaget, Mbok. Hehe...", dengan tawa yang dibuatnya Rose menjawab Mbok Mei, meski hatinya tetap menangis.
"Owalah.... Yowes, masuk dulu, Non. Ibu masih di toko, Non, sebentar lagi pulang. Mbok buatkan teh hangat dulu ya? Tanpa gula kan, Non? Mau pakai melati atau jahe?"
"Ih, Mbok Mei ini, sudah tau aku tidak pernah suka teh jahe. Pakai melati saja, Mbok. Taruh di taman belakang saja. Agak panas ya, Mbok? Aku mandi dulu sebentar", katanya sambil melangkah masuk menuju kamarnya.
"Hehe... Beres, Non".
Rose membanting badannya ke tempat tidur, merasakan nyamannya kamar yang selalu dia rindukan. Kamar di tempat kosnya dulu tidak senyaman ini, jendelanya kecil, menghadap jalanan di luar yang berisik pula. Di sini jendelanya besar, menghadap ke taman cantik kesayangan ibunya, yang penuh dengan mawar. Mawar, asal mula namanya yang indah dan nama yang dibanggakannya.
Menikmati semilir angin di tempat tidurnya membuat Rose mengantuk. Kalau saja dia tidak teringat untuk membersihkan barang-barangnya, mungkin dia sudah tertidur. Buru-buru ia beranjak, merapikan sedikit barangnya. Dia tidak membawa banyak barang, hanya tas ransel untuk barang pribadinya. Barang-barang lain seperti baju dan buku, dia kirim melalui paket yang mungkin akan sampai di sini besok atau lusa. Baju-baju lamanya pun masih banyak dan tersimpan rapi di lemari. Setelah merapikan barangnya, Rose bergegas mandi.
Dengan bersenandung kecil di depan cermin Rose menyisir rambutnya. Gaun terusan pendek putih dengan pita biru melekat di tubuhnya yang ramping. Tidak memerlukan solek yang tebal atau perhiasan mahal, Rose sudah cantik dari sananya. Mata bulat, perawakan ramping, rambut hitam tebal, mirip ibunya. Hidung mancung, bibir tipis, serta kaki jenjang diwarisinya dari ayahnya, Frans.
"Owalah.... Yowes, masuk dulu, Non. Ibu masih di toko, Non, sebentar lagi pulang. Mbok buatkan teh hangat dulu ya? Tanpa gula kan, Non? Mau pakai melati atau jahe?"
"Ih, Mbok Mei ini, sudah tau aku tidak pernah suka teh jahe. Pakai melati saja, Mbok. Taruh di taman belakang saja. Agak panas ya, Mbok? Aku mandi dulu sebentar", katanya sambil melangkah masuk menuju kamarnya.
"Hehe... Beres, Non".
Rose membanting badannya ke tempat tidur, merasakan nyamannya kamar yang selalu dia rindukan. Kamar di tempat kosnya dulu tidak senyaman ini, jendelanya kecil, menghadap jalanan di luar yang berisik pula. Di sini jendelanya besar, menghadap ke taman cantik kesayangan ibunya, yang penuh dengan mawar. Mawar, asal mula namanya yang indah dan nama yang dibanggakannya.
Menikmati semilir angin di tempat tidurnya membuat Rose mengantuk. Kalau saja dia tidak teringat untuk membersihkan barang-barangnya, mungkin dia sudah tertidur. Buru-buru ia beranjak, merapikan sedikit barangnya. Dia tidak membawa banyak barang, hanya tas ransel untuk barang pribadinya. Barang-barang lain seperti baju dan buku, dia kirim melalui paket yang mungkin akan sampai di sini besok atau lusa. Baju-baju lamanya pun masih banyak dan tersimpan rapi di lemari. Setelah merapikan barangnya, Rose bergegas mandi.
Dengan bersenandung kecil di depan cermin Rose menyisir rambutnya. Gaun terusan pendek putih dengan pita biru melekat di tubuhnya yang ramping. Tidak memerlukan solek yang tebal atau perhiasan mahal, Rose sudah cantik dari sananya. Mata bulat, perawakan ramping, rambut hitam tebal, mirip ibunya. Hidung mancung, bibir tipis, serta kaki jenjang diwarisinya dari ayahnya, Frans.