Berjalan di lorong-lorong rak bahan kue, Edward berbelanja bahan untuk toko pamannya, sudah mulai terbiasa melakukan tugas belanja itu sendiri. Edward benar-benar menenggelamkan dirinya dalam kesibukan, mempelajari setiap detail pendukung usaha pamannya, dan memastikan bahwa dia menguasai hal-hal itu dengan benar. Edward seakan haus pada ilmu dan ambisi. Betul, dia penuh dengan ambisi saat ini, tapi bukan untuk belajar. Semua orang tau, Edward sangat suka belajar hal baru, jadi sebuah 'ambisi' tidak perlu dibubuhkan pada semangatknya untuk belajar. Edward punya ambisi, ambisi untuk memenuhi otak dan hatinya dengan apapun itu dan memastikan tidak ada celah baginya untuk memikirkan Rose.
Tentu saja, itu sesuatu yang mustahil. Di saat sepi dan sendirinya, Edward mengais-ngais rasa rindu. Menghindari keputusasaannya, Edward sering habiskan malam akhir pekannya di bar. Alih-alih terhindar rasa rindu, Edward semakin larut dalam kesepian. Edward sangat berhati-hati untuk tidak membuat dirinya mabuk dan kehilangan arah, dia tidak mau membuat pamannya kecewa.
Melewati malam di bar, bukan tidak mungkin Edward tidak menarik perhatian para wanita. Sebagai orang Indonesia, Edward memiliki wajah yang tampan. Tubuhnya yang kekar dan kulitnya yang coklat bersih, sangat mungkin sekali untuk membuatnya mendapatkan wanita dengan mudah. Banyak wanita yang berkenalan dengannya, ada Corin, Samantha, Elise, Joey, dan masih ada beberapa lagi yang lain, namun tak satupun di antara mereka yang membuatnya nyaman. Menurutnya, mereka semua sama, wanita-wanita liar yang menyukai dunia malam. Dan seperti pada suatu malam, ada seorang wanita yang mencoba mencuri perhatiannya.
"Hi...," sapa wanita itu, yang berdiri dengan cantik, menunjukkan kemolekan tubuhnya yang langsing dan tinggi. Dia memiliki rahang tegas khas wanita Perancis.
"Oh, hi...", jawab Edward sekenanya.
"Sendiri?"
"Iya", Edward benar-benar malah untuk berbicara. Buatnya, malam seperti ini adalah saat untuknya mengenang Rose.
"Boleh duduk di sini?", Amber menunjuk bangku kosong di samping Edward.
"Tentu".
"Aku Amber"
"Edward"
"Hmm... tinggal di sekitar sini?"
"Iya"
"Oh, aku juga, aku tinggal di sebuah flat tak jauh dari sini"
"Oh..."
"Aku bekerja di dekat sini juga, kantor media, jadi aku cukup sering mengunjungi tempat ini bersama teman-teman kantor. Tinggal sendiri di sebuah kota asing untuk bekerja, membuatku hanya berteman dengan teman-teman kantor saja. Membosankan".
"Hmmm..."
"Kalau kau Edward?"
"Aku?", Edward sedikit kaget mendapat pertanyaan itu. Biasanya, wanita akan langsung tersinggung ketika dia bicara panjang lebar soal dirinya dan hanya mendapatkan sebuah gumaman sebagai balasan.
"Iya, kamu".
"Aku di toko kue".
"Toko kue? Kau bercanda!"
"Tidak, aku serius. Aku bekerja di toko kue pamanku".
"Wah! Menarik. Orang yang melihatmu pasti akan mengira bahwa kau adalah seorang pekerja kantoran yang bekerja dengan setumpuk data dan sangat memuja kerapian", Amber tertawa kecil mendengar kata-katanya sendiri.
"Hmm...", gumam Edward lagi.
"Maaf, bukan maksud menyinggung. Maksudku, kau terlihat sangat rapi. Maksudku, kau seperti 'orang rapih', kau tau, kan?", Amber tertawa lagi.
"Memang pekerja toko kue tidak boleh rapi?"
"Oh, bukan, bukan. Tentu saja boleh. Aku katakan, bukan maksudku menyinggungmu. Hanya saja, gayamu memang 'rapi'. Tentu, tentu, kau tidak dilarang untuk berpakaian rapi, tapi biasanya orang seperti mereka akan terlihat 'lebih santai'", Amber mengatakannya dengan serius, dan ada nada rasa bersalah di kalimatnya. Edward menahan senyum, merasakan kepanikan di kata-kata Amber.
"Aku benar-benar tidak ingin menyinggungmu", Amber mengulangi.
"Hahaha, sudahlah... itu bukan hal penting", akhirnya Edward melepaskan tawanya.
"Uh, aku lega kau tertawa".
"Kenapa?"
"Serius. Aku kira kau benar-benar akan tersinggung dengan itu".
"Oh, tidak. Bukan masalah".
"Aku penasaran. Kau sepertinya bukan berasal dari sini, kan? Tapi bahasa Perancismu baik sekali!"
"Iya. Aku orang Indonesia, pamanku yang asli sini, sejak aku kecil sudah diajarinya berbahasa Perancis"
"Wow! Keren. Indonesia? Dekat dengan Bali?"
"Tidak, tidak. Bali ada di dalam Indonesia. Indonesia itu negaraku, dan Bali adalah salah satu tempat indah yang dimiliki Indonesia", Edward sudah sangat hafal jika banyak orang yang lebih mengenal Bali. Edward sendiri juga suka Bali.
"Oh, itu artinya masih banyak tempat lain yang cantik di Indonesia?"
"Tentu saja", jawab Edward.
"Kau bilang, toko kue itu milik pamanmu. Di mana itu?"
"Tidak terlalu jauh dari sini juga"
"Apa nama tokonya? Mungkin lain kali aku akan mampir"
"Uncle Jo's. Toko Roti Uncle Jo's"
"Kau bercanda!"
"Tidak"
"Itu adalah toko kue favoritku. Aku selalu meminta staff adminku untuk membeli cinnamon rolls kesukaanku di sana! Untuk aku sarapan!"
"Ya, ya, ya. Cinnamon Rolls memang best seller di toko kami"
"Tentu saja! Itu enak sekali. Tapi mungkin selanjutnya, staff adminku tidak akan lagi kuminta untuk ke sana"
"Kenapa? Kau mau pindah?"
"Tidak. Tidak."
"Lalu? Kau menemukan cinnamon rolls lain yang lebih enak? Di mana itu?"
"Tidak juga"
"Lalu?"
"Karna selanjutnya, aku sendiri yang akan ke tokomu untuk mendapatkan Cinnamon Rolls-ku"
Terima kasih telah mampir. Mohon cantumkan sumber (alamat URL, blog kami) untuk karya yang Anda copy. Menghargai karya orang lain, berarti Anda menghargai diri sendiri. Enjoy !!
Sabtu, 15 Februari 2020
Nightfall Kiss - Chapter 6
Oh every time I close my eyes
I see my name in shining lights
A different city every night oh
I swear the world better prepare
For when I’m a billionaire
I see my name in shining lights
A different city every night oh
I swear the world better prepare
For when I’m a billionaire
Lagu ceria Bruno Mars mengalir dari sebuah speaker kecil. Rose bergerak ke sana kemari sambil menggoyang-goyangkan badannya mengikuti nada lagu. Rok berbahan ringannya hari ini ikut bergoyang seirama tubuhnya. Sepotong gaun berbahan ringan dan tipis warna peach selutut dia pilih untuk menemani harinya. Bukan gaun yang terbuka dan vulgar, hanya gaun terusan selutut dengan potongan lengan sebahu, untuk hari ini. Kalung tipis emas putihnya yang bermata blue saffire kecil, semakin membuatnya cantik.
Hari ini penting buat Rose. Rencana bisnisnya sudah matang dan dia akan mempresentasikan itu pada Lian. Rose sengaja meminta sahabat cantiknya itu untuk bertemu di sebuah coffee shop di daerah tengah kota. Lian, yang tidak suka mengeluarkan uang hanya untuk nongkrong, protes keras dan mengatakan kalau bisa dibahas di rumah saja. Tapi Rose punya alasan khusus, dia ingin lebih professional dan berbicara seperti rekan bisnis sekaligus kawan, bukan kawan saja atau rekan bisnis saja.
"Hai, Lian. Kamu di mana?", Rose berbicara melalui iPhone-nya.
"On my way, sweetheart...".
"Sudah tau tempatnya, kan? Kita ketemu di sana saja, ya?"
"Oke, cantik. See you there, then".
Memakai sepatu warna senada dengan gaunnya, Rose menenteng berkas-berkas, map, dan tabletnya memasuki mobil. Ditemani Pak Iming, sopir ibunya, Rose berangkat ke coffee shop.
*****
Coffee shop ini tidak terlalu besar, terletak di dalam sebuah perumahan di daerah tengah kota. Tempat yang nyaman dan tidak terlalu dekat dengan jalan raya, terhindar dari bisingnya suara kendaraan, membuatnya cocok sebagai tempat pertemuan. Bagusnya lagi, letak perumahannya berada di belakang ruko-ruko perkantoran, para pekerja bisa mengajak partner bisnis bertemu dan tidak jauh dari kantor. Dikelola dengan sangat apik oleh dua kakak beradik muda yang keduanya menyukai otomotif tua, tempat ini berkonsep semi industrial yang modern.
Perabot meja dan kursinya menggunakan kayu muda yang menunjukkan serat alami dari kayunya. Beberapa kursi terbuat dari drum yang ditutupi dengan bahan jok sepeda sebagai bantalan. Hiasan dinding berupa gambar-gambar motor dan mobil beserta model cantiknya dari tahun 70an dan 80an bersanding cantik dengan spare part motor dan mobil yang digantung acak. Tidak melulu kaku dengan 'kelaki-lakian'nya, coffee shop ini memberikan sentuhan feminin dengan tanaman-tanaman cantik yang tersebar di setiap sudut dan sisi ruangan. Rerumputan yang ditata apik dalam pot keramik bergantung di rak-rak kayu, bunga-bunga matahari dalam pot-pot kecil yang memberi warna di antara hiasan buku-buku tua, taman-taman kecil di dalam dan di luar ruangan yang berpadu cantik dengan kolam atau air mancur bergaya victorian, membuat sejuk setiap mata yang memandang. Rose sangat menyukai perpaduan konsep ini. Sungguh menginspirasi, menurutnya. Tempat yang dia suka untuk sekedar duduk membaca buku atau mengerjakan blog-nya.
Rose memilih tempat di ujung dekat jendela bening besar yang menghadap taman belakang yang hijau dan menyejukkan. Mengeluarkan dan menumpuk berkas-berkas dan tabletnya, Rose memancing perhatian siapa saja yang tidak sengaja melihatnya. Gayanya yang anggun, dengan gaun cantiknya, berpadu indah dengan rambut hitam panjang lurusnya yang dibiarkan tergerai. Lian sedikit datang terlambat karena harus mampir ke pabrik, mengambil beberapa barangnya yang tertinggal.
Sembari menunggu, Rose membuka notes di tabletnya. Suasana ini memberi dia kesempatan untuk meluapkan kata-kata yang menari dalam otaknya menjadi puisi. Rose memiliki sebuah akun blog yang cukup aktif dan inspiratif dengan tulisannya. Puisi yang kadang mendayu-dayu merajuk cinta atau yang sedikit keras dan tajam memprotes dunia. Akhir-akhir ini Rose memilih untuk menyimpan sendiri tulisannya dibanding membagikannya lewat blog. Dia ingin dunianya sedikit lebih 'sepi' untuk membangun semangat barunya.
Lian datang setelah Rose menyelesaikan dua sajaknya.
"Hai!", sapa Lian.
"Heiiiii ... Sudah ambil barangnya?"
"Sudaaah. Maklum lah, kawanmu ini kan pelupa".
"Dasar! Buat pesanan dulu sana... Red Velvet Latte-nya enak".
"Hmmm ... boleh. Tunggu yaa..."
Lian, sahabat Rose yang penggembira itu beranjak untuk membuat pesanannya. Perempuan cantik, sahabat Rose dari masa kecil. Tidak seperti Rose yang memiliki postur sedikit berisi, Lian adalah sosok yang tinggi dan semampai. Baju apapun yang dikenakannya pasti akan terlihat pas di tubuhnya. Wajahnya cantik, mata yang tidak terlalu bulat atau terlalu sipit, hidung mancung khas Asia, bibir kecil namun berisi, dan kulitnya yang putih khas keturunan oriental membuat dia selalu jadi pusat perhatian pria di sekitarnya. Tidak menyadari atau tidak mau menyadari, Lian selalu acuh dengan perhatian yang diberikan para pria untuknya.
Kembali dengan segelas minuman di tangannya, Lian duduk santai berhadapan dengan Rose.
"So, mau bicara soal apa kita?", tanyanya tanpa basa-basi pada Rose.
"Jadi sebetulnya, aku punya rencana bisnis yang akan aku jalankan di kota ini, persis seperti yang kukatakan padamu beberapa waktu lalu".
"Tunggu, sebelum kau bicara mengenai rencana bisnismu, ceritakan padaku apa yang terjadi, sampai kau pulang tiba-tiba dan mantap untuk tinggal di sini?"
Rose menarik nafasnya dalam-dalam. Sahabatnya ini adalah selalu menjadi orang pertama untuk mendengar keluh kesahnya. Dia tidak berniat menyemnyikan masalahnya kali ini pada Lian, tapi Rose menghindari untuk berbicara tentang Edward. Itu membuat hatinya semakin sakit.
"Tentu saja bisnis! Langkah baru, hidup baru! Aku ingin menjadi boss!", dengan memasang muka seceria mungkin, Rose mencodongkan tubuhnya dan mengecilkan suara saat mengatakan itu, seolah-olah pembicaraannya adalah pembicaraan antar detektif dan saksi di fim cowboy.
"Luar biasa memang kawanku satu ini", beruntung, Lian tak curiga dan berhenti bertanya tentang sebab keputusannya kembali ke kota ini.
Membuka tabletnya, Rose memulai presentasi bisnis pada sahabatnya, "Rencanaku sederhana Lian, menggabungkan kesukaanku dan bisnis. Kue! Kau tau kan betapa sukanya aku menikmati kue?"
"Toko kue? Seperti milik ibumu?"
"Mirip, tapi bukan. Toko kue Ibu memang sukses dan berjaya, tapi itu sudah kuno. Kau lihat kan yang datang di sana kebanyakan para Nyonya? Target kita adalah usia yang lebih muda, seperti kita Aku ingin sesuatu yang baru dan aku rasa di kota ini belum ada. Aku, dengan bantuanmu, akan memulainya".
"Dan bagaimana itu?"
"Sederhana. Lihat coffee shop ini. Apa yang menarik? Kopinya? Lokasinya? Bukan. Kita bicara mengenai inovasi. Yaa atau kalau tidak bisa disebut dengan inovasi, kita sebut 'kreativitas'!"
"Apa sih? Bikin penasaran banget..."
"Jadi, as I told you before targetku adalah pasar untuk usia muda. Kamu lihat, di kota ini, toko Ibu memang sudah punya nama, terkenal dan bahkan jadi buah tangan wajib untuk orang yang ke kota ini. Tapi lihat lagi, toko Ibu sudah kuno! Lihat siapa yang ke sana? Oma-oma dan Opa-Opa. Sekarang coffee shop ini, kenapa menu utamanya kopi saja bisa buat tempat ini menarik? Itu soal 'gaya', Lian!"
"Hmmmm...", Lian memperhatikan sekeliling, mengedarkan pandangan kembali ke coffee shop itu, dan berkata, "Kamu mau buat yang seperti ini? Waah, perlu modal dan biaya besar loh..."
"Tidak perlu yang sebesar ini, lah... Sini, coba liat rancangan bisnisku," Rose mempresentasikan rencana-rencananya pada Lian melalui tabletnya, dan dalam beberapa saat mereka sudah sibuk dengan pembicaraan dan perdebatan.
Rose sudah hampir-hampir lega mengingat Lian sudah sangat berkonsentrasi pada rencana bisnisnya, ketika sebuah pertanyaan dari Lian kembali menusuknya,
"So? What happened actually?", tanya Lian.
"What happened 'what'?", jawab Rose, berpura tidak mengerti maksud Lian.
"Jangan jadikan bisnis ini alasanmu untuk menghindari bicara denganku. Iya, kuakui rencanamu luar biasa. Tapi apa alasan di balik semua ini? Kenapa tiba-tiba sekali? Apa yang sudah terjadi padamu?"
"Liaaaan! Kau tau aku, kan? Ini tidak mendadak atau tiba-tiba seperti yang kamu bilang. Aku sudah merencanakan ini sejak lama, kok..."
"Oh, tentu! Aku tau kamu. Aku tau kamu pintar, cerdas, dan sangat kreatif, tapi aku juga tau kamu pandai sekali menyembunyikan sesuatu".
"Sesuatu apa?", Rose mulai lelah menjawab berputar-putar, tapi dia juga masih terlalu malas untuk bercerita. Lian yang mengerti Rose perlu waktu 'lebih lama' untuk bercerita tidak lagi memaksanya untuk berbicara.
Rose bukan hanya perlu waktu 'lebih lama' untuk bercerita, di hatinya, di pikirannya, Rose perlu waktu yang 'cukup lama' untuk mencerna masalahnya, dan perlu waktu 'sangat lama' untuk menyembuhkan lukanya.
Hari ini penting buat Rose. Rencana bisnisnya sudah matang dan dia akan mempresentasikan itu pada Lian. Rose sengaja meminta sahabat cantiknya itu untuk bertemu di sebuah coffee shop di daerah tengah kota. Lian, yang tidak suka mengeluarkan uang hanya untuk nongkrong, protes keras dan mengatakan kalau bisa dibahas di rumah saja. Tapi Rose punya alasan khusus, dia ingin lebih professional dan berbicara seperti rekan bisnis sekaligus kawan, bukan kawan saja atau rekan bisnis saja.
"Hai, Lian. Kamu di mana?", Rose berbicara melalui iPhone-nya.
"On my way, sweetheart...".
"Sudah tau tempatnya, kan? Kita ketemu di sana saja, ya?"
"Oke, cantik. See you there, then".
Memakai sepatu warna senada dengan gaunnya, Rose menenteng berkas-berkas, map, dan tabletnya memasuki mobil. Ditemani Pak Iming, sopir ibunya, Rose berangkat ke coffee shop.
*****
Coffee shop ini tidak terlalu besar, terletak di dalam sebuah perumahan di daerah tengah kota. Tempat yang nyaman dan tidak terlalu dekat dengan jalan raya, terhindar dari bisingnya suara kendaraan, membuatnya cocok sebagai tempat pertemuan. Bagusnya lagi, letak perumahannya berada di belakang ruko-ruko perkantoran, para pekerja bisa mengajak partner bisnis bertemu dan tidak jauh dari kantor. Dikelola dengan sangat apik oleh dua kakak beradik muda yang keduanya menyukai otomotif tua, tempat ini berkonsep semi industrial yang modern.
Perabot meja dan kursinya menggunakan kayu muda yang menunjukkan serat alami dari kayunya. Beberapa kursi terbuat dari drum yang ditutupi dengan bahan jok sepeda sebagai bantalan. Hiasan dinding berupa gambar-gambar motor dan mobil beserta model cantiknya dari tahun 70an dan 80an bersanding cantik dengan spare part motor dan mobil yang digantung acak. Tidak melulu kaku dengan 'kelaki-lakian'nya, coffee shop ini memberikan sentuhan feminin dengan tanaman-tanaman cantik yang tersebar di setiap sudut dan sisi ruangan. Rerumputan yang ditata apik dalam pot keramik bergantung di rak-rak kayu, bunga-bunga matahari dalam pot-pot kecil yang memberi warna di antara hiasan buku-buku tua, taman-taman kecil di dalam dan di luar ruangan yang berpadu cantik dengan kolam atau air mancur bergaya victorian, membuat sejuk setiap mata yang memandang. Rose sangat menyukai perpaduan konsep ini. Sungguh menginspirasi, menurutnya. Tempat yang dia suka untuk sekedar duduk membaca buku atau mengerjakan blog-nya.
Rose memilih tempat di ujung dekat jendela bening besar yang menghadap taman belakang yang hijau dan menyejukkan. Mengeluarkan dan menumpuk berkas-berkas dan tabletnya, Rose memancing perhatian siapa saja yang tidak sengaja melihatnya. Gayanya yang anggun, dengan gaun cantiknya, berpadu indah dengan rambut hitam panjang lurusnya yang dibiarkan tergerai. Lian sedikit datang terlambat karena harus mampir ke pabrik, mengambil beberapa barangnya yang tertinggal.
Sembari menunggu, Rose membuka notes di tabletnya. Suasana ini memberi dia kesempatan untuk meluapkan kata-kata yang menari dalam otaknya menjadi puisi. Rose memiliki sebuah akun blog yang cukup aktif dan inspiratif dengan tulisannya. Puisi yang kadang mendayu-dayu merajuk cinta atau yang sedikit keras dan tajam memprotes dunia. Akhir-akhir ini Rose memilih untuk menyimpan sendiri tulisannya dibanding membagikannya lewat blog. Dia ingin dunianya sedikit lebih 'sepi' untuk membangun semangat barunya.
Lian datang setelah Rose menyelesaikan dua sajaknya.
"Hai!", sapa Lian.
"Heiiiii ... Sudah ambil barangnya?"
"Sudaaah. Maklum lah, kawanmu ini kan pelupa".
"Dasar! Buat pesanan dulu sana... Red Velvet Latte-nya enak".
"Hmmm ... boleh. Tunggu yaa..."
Lian, sahabat Rose yang penggembira itu beranjak untuk membuat pesanannya. Perempuan cantik, sahabat Rose dari masa kecil. Tidak seperti Rose yang memiliki postur sedikit berisi, Lian adalah sosok yang tinggi dan semampai. Baju apapun yang dikenakannya pasti akan terlihat pas di tubuhnya. Wajahnya cantik, mata yang tidak terlalu bulat atau terlalu sipit, hidung mancung khas Asia, bibir kecil namun berisi, dan kulitnya yang putih khas keturunan oriental membuat dia selalu jadi pusat perhatian pria di sekitarnya. Tidak menyadari atau tidak mau menyadari, Lian selalu acuh dengan perhatian yang diberikan para pria untuknya.
Kembali dengan segelas minuman di tangannya, Lian duduk santai berhadapan dengan Rose.
"So, mau bicara soal apa kita?", tanyanya tanpa basa-basi pada Rose.
"Jadi sebetulnya, aku punya rencana bisnis yang akan aku jalankan di kota ini, persis seperti yang kukatakan padamu beberapa waktu lalu".
"Tunggu, sebelum kau bicara mengenai rencana bisnismu, ceritakan padaku apa yang terjadi, sampai kau pulang tiba-tiba dan mantap untuk tinggal di sini?"
Rose menarik nafasnya dalam-dalam. Sahabatnya ini adalah selalu menjadi orang pertama untuk mendengar keluh kesahnya. Dia tidak berniat menyemnyikan masalahnya kali ini pada Lian, tapi Rose menghindari untuk berbicara tentang Edward. Itu membuat hatinya semakin sakit.
"Tentu saja bisnis! Langkah baru, hidup baru! Aku ingin menjadi boss!", dengan memasang muka seceria mungkin, Rose mencodongkan tubuhnya dan mengecilkan suara saat mengatakan itu, seolah-olah pembicaraannya adalah pembicaraan antar detektif dan saksi di fim cowboy.
"Luar biasa memang kawanku satu ini", beruntung, Lian tak curiga dan berhenti bertanya tentang sebab keputusannya kembali ke kota ini.
Membuka tabletnya, Rose memulai presentasi bisnis pada sahabatnya, "Rencanaku sederhana Lian, menggabungkan kesukaanku dan bisnis. Kue! Kau tau kan betapa sukanya aku menikmati kue?"
"Toko kue? Seperti milik ibumu?"
"Mirip, tapi bukan. Toko kue Ibu memang sukses dan berjaya, tapi itu sudah kuno. Kau lihat kan yang datang di sana kebanyakan para Nyonya? Target kita adalah usia yang lebih muda, seperti kita Aku ingin sesuatu yang baru dan aku rasa di kota ini belum ada. Aku, dengan bantuanmu, akan memulainya".
"Dan bagaimana itu?"
"Sederhana. Lihat coffee shop ini. Apa yang menarik? Kopinya? Lokasinya? Bukan. Kita bicara mengenai inovasi. Yaa atau kalau tidak bisa disebut dengan inovasi, kita sebut 'kreativitas'!"
"Apa sih? Bikin penasaran banget..."
"Jadi, as I told you before targetku adalah pasar untuk usia muda. Kamu lihat, di kota ini, toko Ibu memang sudah punya nama, terkenal dan bahkan jadi buah tangan wajib untuk orang yang ke kota ini. Tapi lihat lagi, toko Ibu sudah kuno! Lihat siapa yang ke sana? Oma-oma dan Opa-Opa. Sekarang coffee shop ini, kenapa menu utamanya kopi saja bisa buat tempat ini menarik? Itu soal 'gaya', Lian!"
"Hmmmm...", Lian memperhatikan sekeliling, mengedarkan pandangan kembali ke coffee shop itu, dan berkata, "Kamu mau buat yang seperti ini? Waah, perlu modal dan biaya besar loh..."
"Tidak perlu yang sebesar ini, lah... Sini, coba liat rancangan bisnisku," Rose mempresentasikan rencana-rencananya pada Lian melalui tabletnya, dan dalam beberapa saat mereka sudah sibuk dengan pembicaraan dan perdebatan.
Rose sudah hampir-hampir lega mengingat Lian sudah sangat berkonsentrasi pada rencana bisnisnya, ketika sebuah pertanyaan dari Lian kembali menusuknya,
"So? What happened actually?", tanya Lian.
"What happened 'what'?", jawab Rose, berpura tidak mengerti maksud Lian.
"Jangan jadikan bisnis ini alasanmu untuk menghindari bicara denganku. Iya, kuakui rencanamu luar biasa. Tapi apa alasan di balik semua ini? Kenapa tiba-tiba sekali? Apa yang sudah terjadi padamu?"
"Liaaaan! Kau tau aku, kan? Ini tidak mendadak atau tiba-tiba seperti yang kamu bilang. Aku sudah merencanakan ini sejak lama, kok..."
"Oh, tentu! Aku tau kamu. Aku tau kamu pintar, cerdas, dan sangat kreatif, tapi aku juga tau kamu pandai sekali menyembunyikan sesuatu".
"Sesuatu apa?", Rose mulai lelah menjawab berputar-putar, tapi dia juga masih terlalu malas untuk bercerita. Lian yang mengerti Rose perlu waktu 'lebih lama' untuk bercerita tidak lagi memaksanya untuk berbicara.
Rose bukan hanya perlu waktu 'lebih lama' untuk bercerita, di hatinya, di pikirannya, Rose perlu waktu yang 'cukup lama' untuk mencerna masalahnya, dan perlu waktu 'sangat lama' untuk menyembuhkan lukanya.
Langganan:
Postingan (Atom)