Senin, 15 September 2014

Nightfall Kiss - Chapter 3

Lampu merah membuat kumpulan kendaraan berhenti. Seorang gadis berambut panjang mempercepat langkahnya di atas garis-garis besar berwarna putih di jalan. Hujan deras beberapa saat lalu membuat jalanan basah, air menggenang di beberapa sisi jalan yang tidak rata, mengotori sepatu bertumit kecil Si Gadis. Cuaca yang dingin menemani langkah kakinya untuk kembali pulang. Pulang ke rumah, tempat segala kenyamanan berada.

Perjalanan jauh tidak membuatnya ingin cepat-cepat sampai di rumah. Dia tetap berjalan pelan, menikmati rintik hujan yang membasahi rambut dan tubuhnya. Rintik yang mebuat bercak - bercak basah di bajunya, tudungnya, dan tasnya. Dia tidak membenci hujan, dia berteman dengan hujan, dengan bau tanah basahnya, dan dengan sejuknya.

Di ujung jalan, beberapa tukang ojek berebut menawarkan jasa. Mengharap rejeki dan bonus membonceng wanita cantik. Gadis itu tetap berjalan, tak menghiraukan ojek-ojek itu. Alih-alih memilih ojek agar cepat sampai, gadis itu memilih becak dengan tukangnya yang sudah tua. Tak apalah, ini memberikannya waktu untuk sedikit mengenang jalanan ke rumahnya. Melamun dan sedikit bernostalgia pada jalan yang sering dulu dia lewati untuk pergi ke sekolah, ke pasar malam bersama Ibu, dan banyak lagi yang telah dia lewati.

Dan terlihatlah rumahnya, rumah di mana segala kenyamanannya berada. Rumah itu besar tapi sederhana, tidak banyak dekorasinya, bercat putih, dengan pagar hanya setinggi dada. Halamannya tidak terlalu luas tapi asri dipenuhi kembang. Sedikit menahan nafas ketika membuka pagar rumahnya. Di sini, di rumah ini, di segala kenyamanannya berada, dia akan memulai lagi segalanya dari awal. Tanpa luka, tanpa sakit hati, tanpa Edward.

 
 ***

Rose membuka pagar rumahnya, melangkah pelan sambil mengulang kata-kata yang dia susun untuk bicara pada Ibunya, dalam hati. Bu, aku berhenti bekerja, aku ingin di sini, menemani Ibu, biar Ibu gak kesepian. Aku sudah ada tabungan cukup untuk memulai usahaku sendiri di sini. Aku ingin seperti Ibu dan toko kue Ibu, memberi kesempatan orang lain untuk mencari rejeki bersamaku. Terus dia ulangi alasan-alasan itu untuk dia bicarakan pada Ibunya, agar tak ada rasa khawatir timbul di hati Ibunya.

Di depan pintu putih rumah masa kecilnya, Rose terpaku. Seperti film, potongan gambar masa kecilnya bergiliran berebutan tempat di otaknya, memenuhi sisi visual kenangannya. Saat senang ketika Ibunya membelikan pita rambut baru, saat menangis kala Sang Ibu memarahinya karena bermain hujan, saat dia terjatuh dari kursi kayu di teras rumahnya, tanpa sadar sebutir air mata jatuh mengalir di pipinya. Aku pulang, Bu. Aku pulang, rumahku. Suara langkah kaki dari balik pintu membuatnya harus berhenti dari lamunan kenangan. Cepat-cepat dia menghapus air matanya. Tepat saat itu, pintu terbuka.

"Loh, Non? Lagi liburan? Kok, Ibu tidak bilang-bilang kalau Non Oce pulang ke rumah ya, biar Mbok masak yang Non suka?" Mbok Mei, nama aslinya Maemunah, pembantu setia Ibunya yang sudah bekerja di rumah ini puluhan tahun, bahkan sebelum Rose lahir.

"Oce memang belum kasih kabar ke Ibu, Mbok. Biar Ibu kaget, Mbok. Hehe...", dengan tawa yang dibuatnya Rose menjawab Mbok Mei, meski hatinya tetap menangis.

"Owalah.... Yowes, masuk dulu, Non. Ibu masih di toko, Non, sebentar lagi pulang. Mbok buatkan teh hangat dulu ya? Tanpa gula kan, Non? Mau pakai melati atau jahe?"

"Ih, Mbok Mei ini, sudah tau aku tidak pernah suka teh jahe. Pakai melati saja, Mbok. Taruh di taman belakang saja. Agak panas ya, Mbok? Aku mandi dulu sebentar", katanya sambil melangkah masuk menuju kamarnya.

"Hehe... Beres, Non".

Rose membanting badannya ke tempat tidur, merasakan nyamannya kamar yang selalu dia rindukan. Kamar di tempat kosnya dulu tidak senyaman ini, jendelanya kecil, menghadap jalanan di luar yang berisik pula. Di sini jendelanya besar, menghadap ke taman cantik kesayangan ibunya, yang penuh dengan mawar. Mawar, asal mula namanya yang indah dan nama yang dibanggakannya.

Menikmati semilir angin di tempat tidurnya membuat Rose mengantuk. Kalau saja dia tidak teringat untuk membersihkan barang-barangnya, mungkin dia sudah tertidur. Buru-buru ia beranjak, merapikan sedikit barangnya. Dia tidak membawa banyak barang, hanya tas ransel untuk barang pribadinya. Barang-barang lain seperti baju dan buku, dia kirim melalui paket yang mungkin akan sampai di sini besok atau lusa. Baju-baju lamanya pun masih banyak dan tersimpan rapi di lemari. Setelah merapikan barangnya, Rose bergegas mandi.

Dengan bersenandung kecil di depan cermin Rose menyisir rambutnya. Gaun terusan pendek putih dengan pita biru melekat di tubuhnya yang ramping. Tidak memerlukan solek yang tebal atau perhiasan mahal, Rose sudah cantik dari sananya. Mata bulat, perawakan ramping, rambut hitam tebal, mirip ibunya. Hidung mancung, bibir tipis, serta kaki jenjang diwarisinya dari ayahnya, Frans.

Minggu, 14 September 2014

Almost 20 years

Akhir bulan ini umur saya 20 tahun. It's mean sekarang masih 19 tahun kan?? Kadang saya merinding sendiri mengingat umur saya ini. Hampir 20 tahun!!! Bukan waktu yang sebentar, tentu saja, tapi cukup untuk dibilang "muda" dan "dewasa". Apa yang saya lakukan selama hampir 20 tahun ini? Bergunakah? Atau hanya  akan menjadi kata-kata kenangan?

Mengeluh, sering saya lakukan dalam hidup saya. Keluhan kelelahan tubuh saya yang kata orang "masih muda pasti kuat". Keluhan keirian hati saya yang kata orang "hidup mudah untuk dijalani". Keluhan kelelahan nurani saya terhadap apa yang saya alami. Dan banyak lagi keluhan cantik lainnya.

Menegur diri sendiri sering saya lakukan untuk mengingatkan saya, bahwa saya masih bisa bernafas dan harus mengucap syukur. Malu rasanya, bila menyadari begitu banyak anugerah di hidup saya yang tertutupi oleh Si Cantik Keluhan. Si Cantik yang akan semakin "cantik" bila terus dipelihara. Rasa syukur yang mampu menaklukkannya.

Sehari-hari aktivitas saya padat. Pagi kuliah, sore kerja. Penghasilan? Tentu cukup. Cukup untuk di 'pas-pas'kan. Dengan gaji yang tidak mencapai angka 2 juta per bulan dan memiliki tanggungan wajib yang harus dibayar 3/4nya setiap bulan, masih bisa bersantai ria sudah cukup asyik.

Terkadang saya iri, pada mereka yang lebih bebas. Mereka yang 'sedikit' lebih beruntung daripada saya, karena kenyamanan yang mereka dapat. Mereka yang tanpa  harus memikirkan pendapatan dan pengeluaran yang harus mereka keluarkan untuk kuliah, makan, transportasi, dan lain-lain. Mereka yang mampu berkumpul dan bersantai di coffee shop. Mereka yang sangat update dalam fashion. Tapi saya bukan mereka.

Saya seperti koin dengan kedua sisinya. Di satu sisi, saya bergambar biasa, umum, saya iri, saya ingin, dan saya mau seperti mereka. Tapi di sisi lain, yang berbeda, saya bersyukur, saya berpengalaman, dan saya lebih ingin belajar memaknai ini. Manusia, memang tidak pernah puas. 'Iri' sudah ada di dalam darah, tapi 'syukur' harus dirasa dan dilatih.

Hidup memang berat. Tapi lebih berat lagi, bila tak melakukan apapun yang memuaskan hati ini. Dan sekarang, saya cukup puas dengan apa yang telah saya lakukan, masih saya jalani, dan setidaknya untuk dilanjutkan bila ada waktu lagi.

Jumat, 12 September 2014

Nightfall Kiss - Chapter 2

'Criiingg ...', seorang wanita tua memakai terusan pink pastel memasuki toko tempat Edward membantu pamannya.

"Selamat datang di Joe Bakery, ada yang bisa saya bantu, Nyonya?", sapa Edward pada pengunjung keduanya hari ini. Bahasa Prancis Edward cukup bagus, dia pernah mengikuti kursusnya di Indonesia. Paman Joe, suami bibinya yang asli orang Prancis juga selalu menggunakan Bahasa Prancis untuk bicara dengan Edward, kalau tinggal di Paris, biar tidak kaget, katanya.

"Kamu anak baru, ya?", jawab wanita itu, nadanya arogan dan berat.

"Iya, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu? Anda mencari cake atau roti untuk sarapan, mungkin?", jawab Edward.

"Di mana Joe? Aku tidak mau dilayani orang baru!!", suara wanita itu sedikit meninggi. Edward merasa tersinggung, harga dirinya terusik. Edward sudah membuka mulut hendak menjawab, tapi pamannya yang tambun muncul dari belakang merangkul bahunya.

"Apa kabar Nyonya Abella? Senang bertemu dengan Anda lagi. Anda terlihat cantik hari ini, Nyonya", sapa Paman Joe ramah. Tangan Paman Joe sedikit meremas bahu Edward, membuat Edward meringis.

"Aku baik. Aku yang cantik atau kau hanya basa-basi saja?"

"Tentu, Anda cantik, Nyonya. Warna baju Anda sangat cocok dengan matahari pagi. Mari kutemani memilih kue untuk sarapan Anda", Paman Joe melepaskan tangannya di bahu Edward dan berjalan menuju Nyonya Abella. Paman Joe sedikit menoleh ke Edward dan mengerlingkan mata.

Edward cukup bijak untuk menahan emosinya, suatu prestasi untuk dirinya sendiri. Edward terbiasa dilayani dan dihormati, tapi di sini Edward harus belajar melayani dan menghormati orang lain. Edward berjalan menuju ke bagian belakang toko, mengambil air dingin dan meneguknya segera, berharap air dingin ini bisa mendinginkan kepalanya. Inilah bekerja, Ed! Kau harus tau itu!, bentaknya pada dirinya sendiri.

Saat Edward kembali ke toko, Paman Joe sudah sendirian menghitung uang kasirnya. Nyonya Abella sudah pergi. Mendengar langkah kaki, Paman Joe menoleh. "Hi, Ed!", sapanya pada Edward. Nadanya selalu ceria dan senyum selalu merekah dari bibirnya.

"Beginilah bekerja, banyak sekali tipe pengunjung yang menyakitkan hati seperti itu. Yang tadi belum seberapa, sih... Masih banyak godaan lain. Yah, anggap saja mereka kue, ada yang pakai saus yang asin, bedak gula yang manis, atau kismis yang asam, tinggal pilih dan makan saja", Paman Joe tertawa mendengar leluconnya sendiri. Edward berusaha tersenyum kecil.

"Kau harus belajar menghadapi segala jenis keadaan dalam menghadapi pengunjung, Ed. Kau bisa memujinya, katakan saja dia cantik, walau jalannya seperti itik", Paman Joe tertawa sembari menyenggol lengan Edward pelan. Edward ikut tertawa kecil.

"Oh, tidak! Jangan menahan tawa! Wajahmu akan menua dibanding umurmu!", sembur Paman Joe pada Edward. "Kau akan menjadi seperti ini", Paman Joe memanyunkan bibirnya dan berjalan bungkuk-bungkuk. Edward tertawa, tertawa keras bersama pamannya.  Untuk beberapa saat Edward melupakan rasa sakitnya. Untuk sebentar dan meski hanya untuk sebentar.

Bersambung ke  Chapter 3