Pernah tau lagu ini?
"Kau acuhkan aku, kau diamkan aku, kau tinggalkan aku
lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia ..."
atau ini?
"Kau acuhkan aku dengan sikapmu
tak sadarkah kau telah menyakitiku
lelah hati ini memperhatikanmu..."
Yakin, pasti pernah.
Dan yakin, setelah Anda baca ini pasti akan mengerti kalau lagu itu salah.
Kata "acuh" yang akan saya bahas kali ini. Bersiaplah, untuk mengaku bahwa kita bukan warga negara Indonesia yang baik. (Saya juga, kok... Hiks..)
Di dalam dua lagu berbeda tersebut memiliki kata acuh yang bersifat "negatif". Kenapa negatif? Yaa, karena rasanya lagu itu mengungkapkan kesedihan, setelah "diacuhkan" seseorang. Diacuhkan, merasa disakiti (untuk lagu yang kedua). Iya nggak? Iya, pasti.
Tapi, sebenarnya apa sih arti kata acuh itu sendiri?
Kalau kita buka dan cari di Kamus Besar Bahasa Indonesia ini hasilnya :
ACUH = PEDULI
TAK ACUH = TAK PEDULI
Gak percaya? Silakan buka di website kbbi cari kata "acuh" dan temukan hasilnya.
Ya. Orang Indonesia (termasuk saya) sering salah kaprah dalam penggunaan kata ini. Orang Indonesia (sekali lagi, termasuk saya) belum "mencintai sepenuhnya" Indonesia kita. Saya saja baru tau beberapa hari yang lalu dari dosen penerjemah di kampus soal ini. Jelas, saya malu dong... Biar malu saya gak bertambah, saya bagikan info ini ke semua pembaca. Bukan soal cari temen biar sama-sama malu. Tapi paling tidak, saya sudah berusaha mengingatkan teman sebangsa untuk "lebih mencintai" Indonesia kita.
Hal ini juga pernah dibahas di http://www.ayobukasaja.com/2013/11/definisi-kata-acuh-yang-salah-kaprah.html
Semoga bermanfaat.
Salam cinta untuk Indonesia. :)
RA
Terima kasih telah mampir. Mohon cantumkan sumber (alamat URL, blog kami) untuk karya yang Anda copy. Menghargai karya orang lain, berarti Anda menghargai diri sendiri. Enjoy !!
Jumat, 21 Maret 2014
Senin, 17 Maret 2014
Arek Suroboyo harus tau ini...
MISUH.
Dari dulu, pengen banget bahas soal ini... Dan rasanya perlu untuk dibahas.
Bicara kotor atau "misuh" kata orang Jawa, atau "meso" kata Arek Suroboyo sepertinya sudah menjadi "kebiasaan" di masyarakat kita. Surabaya terkenal dengan kata "Jancok"nya yang digunakan hampir setiap orang di kota ini. Saya cukup sering menanyakan arti kata ini kepada teman-teman yang mengatakannya. Hasilnya? "Gak tau", jawab mereka. Yaaa anggap saja mereka seperti bayi yang baru belajar ngomong, diberi kata apapun langsung diikuti tanpa tau artinya. Mau disamain sama bayi??
Makin penasaran sama arti kata "Jancok" sebenarnya? Simak dulu cerita saya :
Saat SMP, saya bersekolah di salah satu SMP swasta di Surabaya, pilihan Ayah saya tercinta.Sedikit menyesal sekarang kenapa saya masuk di situ. Saya ulangi "sedikit menyesal", bukan "sangat menyesal". Kenapa? Dengan kemampuan saya, saya rasa saya bisa masuk di SMP yang lebih baik (bukan sombong, tapi ada sangkut paut nya sama topik kali ini).
Penyesalan saya ditambah dengan mayoritas siswa yang bertempat tinggal di daerah pemukiman "tidak baik" (maaf, saya tidak mau menyebut nama). Dari latar belakang lingkungan mereka, mereka sukaaaaaa sekali menyebut-nyebut jargon khas Surabaya ini. Saya beri contoh yaa.. Tapi jangan marah, hehe...
"He, kon ate nang ndi, c*k?" (he, kamu mau ke mana, c*k?)
"Pelajarane uangel, c*k!" (pelajarannya susah, c*k!)
Seperti itu. Percakapan sehari-hari saja bisa dengan gampang menggunakan kata ini. Hingga pada suatu hari, kami (para siswa saat itu, saya dan teman-teman seangkatan), kedatangan guru baru. Guru cantik yang mengajar Bahasa Indonesia. Biar lebih enak, saya sebut Ibu guru ini, Bu R, inisial nama beliau. (Sebelumnya, terima kasih Bu, pengetahuan yang Anda berikan, berguna sekali).
Bu R ini cukup fenomenal menurut saya dan teman-teman. Bagaimana tidak? Saat datang pertama dan memperkenalkan diri, beliau berkata: "Saya R, kalian bisa panggil saya R saja". Kriiik... kriik... kriik... kami terdiam. Gak pake "Bu"? Kemudian beliau melanjutkan, "atau kalau Anda sungkan, Anda bisa memanggil saya Bu R". Karena wajah kami masih penuh dengan pertanyaan beliau menjelaskan kepada kami apa maksudnya. Penjelasannya akan saya ceritakan di post selanjutnya :).
Tiba-tiba ada seorang teman menyebut jargon Surabaya dengan agak keras. Otomatis, Bu R mendengarnya. Tanggapan beliau? Bukannya marah seperti guru-guru lain. Dengan senyumnya yang khas beliau bertanya "Mas, tadi kamu bilang apa?". Dengan wajah takut, si mas yang dimaksud menjawab, "Maaf Bu, keceplosan." "Loh, tadi kamu bilang apa?", tanya Bu R lagi. Si mas terdiam beberapa detik, kemudian ... "Saya bilang 'jancok', Bu". Kali ini satu kelas yang terdiam.
"Kalian tau apa artinya?", tanya Bu R bertanya kepada kami semua, tetap dengan senyum khasnya. Serempak seisi kelas menjawab, "Gak tau, Bu". Singkatnya Bu R itu menjelaskan arti kata itu begini :
Teman sekelas saya ada yang dari Medan, dan punya kata tabu "cuki". Bu R menjelaskan bahwa cuki, jancok, ancukan, dan lainnya yang sejenis, berasal dari kata cukima, yang artinya sendiri adalah hubungan suami istri. Jadi, kata-kata tersebut sama dengan kata sex yang ada di buku biologi. Hanya saja mindset orang selama ini, itu semua kata tabu.
Yaa, tabu karena artinya yang seharusnya tidak diucapkan secara umum, tabu karena seharusnya tidak diucapkan semudah itu, tabu karena pengucapannya diumpatkan. Untuk soal "pengumpatan", kapan-kapan saya juga akan membahasnya.
Jadi sudah tau kan, sekarang? Masih suka berjargon ria dengan kata-kata ini, atau berhenti cukup sampai di sini? Cukuplah penjelasan saya soal ini, semoga bermanfaat, Kawan.
RA
Dari dulu, pengen banget bahas soal ini... Dan rasanya perlu untuk dibahas.
Bicara kotor atau "misuh" kata orang Jawa, atau "meso" kata Arek Suroboyo sepertinya sudah menjadi "kebiasaan" di masyarakat kita. Surabaya terkenal dengan kata "Jancok"nya yang digunakan hampir setiap orang di kota ini. Saya cukup sering menanyakan arti kata ini kepada teman-teman yang mengatakannya. Hasilnya? "Gak tau", jawab mereka. Yaaa anggap saja mereka seperti bayi yang baru belajar ngomong, diberi kata apapun langsung diikuti tanpa tau artinya. Mau disamain sama bayi??
Makin penasaran sama arti kata "Jancok" sebenarnya? Simak dulu cerita saya :
Saat SMP, saya bersekolah di salah satu SMP swasta di Surabaya, pilihan Ayah saya tercinta.Sedikit menyesal sekarang kenapa saya masuk di situ. Saya ulangi "sedikit menyesal", bukan "sangat menyesal". Kenapa? Dengan kemampuan saya, saya rasa saya bisa masuk di SMP yang lebih baik (bukan sombong, tapi ada sangkut paut nya sama topik kali ini).
Penyesalan saya ditambah dengan mayoritas siswa yang bertempat tinggal di daerah pemukiman "tidak baik" (maaf, saya tidak mau menyebut nama). Dari latar belakang lingkungan mereka, mereka sukaaaaaa sekali menyebut-nyebut jargon khas Surabaya ini. Saya beri contoh yaa.. Tapi jangan marah, hehe...
"He, kon ate nang ndi, c*k?" (he, kamu mau ke mana, c*k?)
"Pelajarane uangel, c*k!" (pelajarannya susah, c*k!)
Seperti itu. Percakapan sehari-hari saja bisa dengan gampang menggunakan kata ini. Hingga pada suatu hari, kami (para siswa saat itu, saya dan teman-teman seangkatan), kedatangan guru baru. Guru cantik yang mengajar Bahasa Indonesia. Biar lebih enak, saya sebut Ibu guru ini, Bu R, inisial nama beliau. (Sebelumnya, terima kasih Bu, pengetahuan yang Anda berikan, berguna sekali).
Bu R ini cukup fenomenal menurut saya dan teman-teman. Bagaimana tidak? Saat datang pertama dan memperkenalkan diri, beliau berkata: "Saya R, kalian bisa panggil saya R saja". Kriiik... kriik... kriik... kami terdiam. Gak pake "Bu"? Kemudian beliau melanjutkan, "atau kalau Anda sungkan, Anda bisa memanggil saya Bu R". Karena wajah kami masih penuh dengan pertanyaan beliau menjelaskan kepada kami apa maksudnya. Penjelasannya akan saya ceritakan di post selanjutnya :).
Tiba-tiba ada seorang teman menyebut jargon Surabaya dengan agak keras. Otomatis, Bu R mendengarnya. Tanggapan beliau? Bukannya marah seperti guru-guru lain. Dengan senyumnya yang khas beliau bertanya "Mas, tadi kamu bilang apa?". Dengan wajah takut, si mas yang dimaksud menjawab, "Maaf Bu, keceplosan." "Loh, tadi kamu bilang apa?", tanya Bu R lagi. Si mas terdiam beberapa detik, kemudian ... "Saya bilang 'jancok', Bu". Kali ini satu kelas yang terdiam.
"Kalian tau apa artinya?", tanya Bu R bertanya kepada kami semua, tetap dengan senyum khasnya. Serempak seisi kelas menjawab, "Gak tau, Bu". Singkatnya Bu R itu menjelaskan arti kata itu begini :
Teman sekelas saya ada yang dari Medan, dan punya kata tabu "cuki". Bu R menjelaskan bahwa cuki, jancok, ancukan, dan lainnya yang sejenis, berasal dari kata cukima, yang artinya sendiri adalah hubungan suami istri. Jadi, kata-kata tersebut sama dengan kata sex yang ada di buku biologi. Hanya saja mindset orang selama ini, itu semua kata tabu.
Yaa, tabu karena artinya yang seharusnya tidak diucapkan secara umum, tabu karena seharusnya tidak diucapkan semudah itu, tabu karena pengucapannya diumpatkan. Untuk soal "pengumpatan", kapan-kapan saya juga akan membahasnya.
Jadi sudah tau kan, sekarang? Masih suka berjargon ria dengan kata-kata ini, atau berhenti cukup sampai di sini? Cukuplah penjelasan saya soal ini, semoga bermanfaat, Kawan.
RA
Langganan:
Postingan (Atom)